PRADIGMA PEMBELAJARAN DALAM PERGURUAN TINGGI
TUGAS MAKALAH
PRADIGMA
PEMBELAJARAN DALAM PERGURUAN TINGGI
Kelompok I.
1.MATHILDA
WAIRATTA
2.HENI
LOUPATTY
3.CRISYE
WANEY
4.APRILIA
SARASWATTY
5.STELI PATTIASINA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN PRONGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
UNIVERSITAS PATIMURA AMBON
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan
kehadiran Tuhan atas kasih dan karunianya.penulis bisa menyelesikanTugas
makalah ini .penulis juga di bantu oleh beberapa informasi dar Internet dan
jurnal penulis berharap semonga para pembaca dapat dipahami dan di mengerti
.dan semonga tugas makalah ini yang berjudul “PRADIGMA PEMBELAJARAN dan PRADIGMA dalam PERGURUAN TINGGI semonga
dapat di terima oleh ibu/Bpk. Kualitas lembaga pendidikan tinggi di Indonesia
hingga saat ini masih tergolong rendah. Hal ini bisa diketahui ketika
dibandingkan dengan lembaga pendidikan tinggi di negara-negara lain. Diketahui
pula bahwa ternyata ada kesenjangan antara realita yang ada dengan tujuan dan
standar kompetensi lulusan perguruan tinggi yang sudah dirumuskan dalam
undang-undang maupun peraturan pemerintah dan perguruan tinggi terkait. Banyak
faktor yang berperan di dalamnya. Salah satunya adalah paradigma pendidikan
-termasuk pendidikan tinggi- yang sedang menjadi acuan masyarakat. Paradigma
yang berkembang ini selanjutnya akan menentukan bagaimana mahasiswa memberikan
makna pada kuliah yang sedang ditempuh. Sementara itu, makna dan pemahaman
apapun yang mereka miliki tentang kuliah, akan menentukan sikap, perilaku,
tindakan dan aktifitas mereka dalam proses pembelajaran. Dan pada akhirnya akan
menentukan keberhasila.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar belakang
masalah……………………………………………………………………………….
B.Rumusan
masalah………………………………………………………………………………………
C.Manfaat
penelitian………………………………………………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN
1,1 .Realiata perguruan tinggi
dalam budaya belajar mahasiswa………………………………………
1,2.jenis-jenis pradigma
perguruan tinggi……………………………………………………………….
1,3.pradigma dalam
pendidikan.pradikma pegajaran pembelajaran……………………………………
1,4.pembelajaran yang berpusat
pada peserta didik…………………………………………………….
BABIII PENUTUP
2. 1 Daftar pustaka………………………………………………………………………………
2.2 kesimpulan………………………………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang masalah
Terdapat tiga fungsi pendidikan
tinggi menurut Undang-undang no.12 pasal 4 tahun 2012 tentang pendidikan
tinggi, yaitu (1) Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; (2) Mengembangkan
Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing,
dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan (3) Mengembangkan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora.
Untuk menjalankan ketiga fungsi tersebut di atas, perguruan tinggi harus mampu
menyelenggarakan pembelajaran yang sangat mendukung terhadap pengembangan
potensi setiap peserta didik dan pengajaran yang efektif. Perubahan paradigma
pembelajaran terjadi dari paradigma berfokus pada guru/dosen menjadi
pembelajaran berfokus pada peserta didik atau mahasiswa. Pada pendidikan tinggi
dikenal Student-Centered Learning sebagai pembelajaran yang berfokus pada
mahasiswa. Keterpaduan lembaga pendidikan dalam menghasilkan pembelajaran yang
berkualitas yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa menjadi bentuk yang utuh
dalam pendekatan ini.
Memaknai pembelajaran merupakan upaya yang
dilakukan oleh setiap orang sejak ribuan tahun yang lalu. Banyak orang yang
menganggap belajar adalah membaca dan menghapal. Hammond, Austin, Orcutt, dan
Rosso (2001:3) mengatakan bahwa
Kenyataannya pada saat ini banyak
pembelajaran yang dilakukan di ruang kelas dengan hanya melanjutkan konsep
pembelajaran berbasis tran smisi.
Artinya, pembelajaran dilaksanakan hanya untuk menyampaikan informasi dari guru
kepada siswanya dan hanya sedikit pula upaya yang dilakukan untuk menggunakan
informasi tersebut untuk tujuan yang baru
cara mengajar yang berlaku bagi
seluruh mahasiswanya dengan perkuliahan satu arah serta mengharapkan para
mahasiswa untuk memahami materi dan mampu mengerjakan tugas sendiri.
Penyelenggaraan pendidikan dimaksudkan untuk membantu manusia menjadikan
dirinya sebagaimana mestinya sesuai dengan yang mereka mampu, dan para pendidik
harus mampu memahami mereka dalam aktualitas, kemungkinankemungkinan dan
idealitasnya serta para pendidik harus tahu bagaimana menumbuhkan
perubahan-perubahan yang diinginkan oleh mereka (Phenix, 1986:17). Ki Hajar
Dewantara (dalam Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa . 2004:14) memandang
pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti
(kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Dan, tujuan
pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang nomor 20
tahun 2003 adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Terdapat tiga fungsi pendidikan tinggi menurut
Undang-undang no.12 pasal 4 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, yaitu:
1.
Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa;
2. Mengembangkan Sivitas Akademika yang
inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui
pelaksanaan Tridharma; dan
3. Mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora. Untuk
menjalankan ketiga fungsi tersebut di atas, perguruan tinggi harus mampu
menyelenggarakan pembelajaran yang sangat mendukung terhadap pengembangan
potensi setiap peserta didik dan pengajaran yang efektif
Rumusan
masalah
Dari penjelasan di atas dapat merumuskan
masalah-masalah yang terjadi dalam pragdikma pembelajaran dan prangdikma dalam
perguruan tinggi rumusan masalah sebangai berikut.
A.
Bangaiman
Realitas perguruan tinggi dan budaya belajar mahasiswa
B.
Jenis-jenis
apakah yang ada dalam pradigma pendidikan tinggi
C.
Bangaimana
Pradingma dalam pendidikan pengajaran dan pembelajara
D.
Bagaimana tindakan Pradingma yang berpusat
pada peserta didik
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini secara umum diharapkan
dapat memberikan manfaat teoretis berupa kontribusi, menambah khasanah dan
dapat membantu mengembangkan konsep ilmu manajemen pendidikan tinggi bidang
akademik, khususnya berkaitan dengan Pradigma pembelajaran dan pradigma
perguruan tinggi peserta ididik (mahasiswa) dalam pencapaian kompetensinya,
melalui informasi yang diperoleh dari kajian ilmiah. Secara spesifik, hasil dan
proses penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
BAB II
PEMBAHASAN
A.REALITA PERGURUAN TINGGI DALAM BUDAYA
BELAJAR MAHASISWA
Pada
tanggal 31 juli 2000, harian kompas memuat artikel yang ditulis oleh Otto
Soemarwoto (guru besar emeritus Universitas Pajajaran) dengan judul Potret
Buruk Perguruan Tinggi Kita.Artikel ini kemudian ditanggapi oleh Prof. Wimpie
Pangkahila dari Universitas Udayana dan Ali Khomson dari Institut Pertanian
Bogor. Kedua tanggapan ini dimuat pada harian yang sama secara berurutan pada
tanggal 21 agustus 2000 dan 4 september 2000. Berikutnya Otto Soemarwoto
menulis lagi denga judul Memperbaiki Potret Buruk Pergurun Tinggi Kita. Ketiga
ilmuwan di atas sepakat bahwa yang menjadi utama rendahnya mutu perguruan
tinggi di Indonesia adalah kecilnya anggaran dan gaji. Namun penyebab yang
paling mendasar lagi sebetulnya adalah rendahnya budaya keilmuan. Penghargaan terhadap
ilmu dan prestasi ilmiah belum menggembirakan.
Budaya yang rendah ini tidak hanya membuat
prestasi dan kretivitas keilmuan dosen rendah. Tidak bisa dihindari lagi,
budaya keilmuan mahasiswa juga rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Erliany
Syaodih tentang persepsi mahasiswa FKIP Universitas Langlangbuana Bandung
terhadap suasana kehidupan kampusmenunjukkan keadaan seperti itu. Temuan
penelitian tersebut adalah persepsi mahasiswa FKIP tentang suasana kehidupan
kampus sangat bervariasi. Namun secara keseluruhan mereka menyatakan bahwa
suasana kehidupan kampus sudah memadahi dan dianggap baik. Suasana kehidupan
kampus ini meliputi :
1).keakraban antar mahasiswa
2).disiplin yang diterapkan ketat
3).fasilitas
praktek yang memadahi
4).gedung dan bangunan yang tertata rapi
5).faktor dosen yang cukup memadahi
6).fasilitas yang layak dipakai serta
kebebasan untuk menggunakannya
7).kesesuaian
ilmu-ilmu yang diajarkan (sesuai kurikulum) dengan minat mahasiswa.
Sebagai salah satu dari sekian
banyak faktor eksternal, suasana kehidupan kampus ini bagi mereka sudah cukup
baik. Namun yang perlu diingat adalah keberhasilan pembelajaran di perguruan
tinggi ditentukan paling tidak oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan
eksternal. Titik lemah yang ditemukan oleh peneliti pada mahasiswa FKIP
tersebut ada pada
faktor internalnya. Berdasarkan pengamatan
yang dilakukan oleh peneliti tersebut, sedikit sekali mahasiswa yang tampak
bersungguh-sungguh menjalankan perannya sebagai mahasiswa. Sebagaian dari
mereka tampak tidak memiliki tujuan yang jelas sesuai dengan posisinya saat
ini. Bahkan ada fenomena mereka melakukan kegiatan perkuliahan sebagai kegiatan
formalitas dan mengisi waktu belaka Dari hasil penelitian tersebut dapat
dipahami bahwa budaya belajar dan keilmuan mahasiswa tergolong jelek. Budaya
belajar dan berpikir yang rendah ini akan lebih parah lagi dampaknya jika
menghadapi kondisi lingkungan pembelajaran yang tidak mendukung. Budaya kelas
yang hierarkhis, misalnya, akan menjadi persoalan yang lebih substantif dan
berdampak besar bagi emosi dan perilaku mahasiswa.
Penelitian yang dilakukan oleh Adi Atmoko
tentang emosi dan perilaku belajar mahasiswa berprestsi rendah dalam perspektif
suryamentaram, menemukan hasil seperti itu. Dari penelitian yang dilakukan
terhadap mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM) tersebut ditemukan bahwa
mahasiswa berprestasi belajar rendah bukan karena memiliki potensi intelektual
yang rendah, tetapi karena lebih banyak dikuasai dan digerakkan oleh emosi
negatif berkaitan dengan perkuliahan. Akibatnya adalah perilakunya
cenderung menjauh dari tugas-tugas
kuliah dan justru mengembangkan kegiatan-kegiatan yang kurang berkaitan dengan
kuliah.
Mereka juga kurang mampu memahami diri sendiri
sehingga tidak mampu pula memahami posisi, hak, dan kewajiban dirinya dan
dosen-dosennya. Mereka mengembangkan pola kepribadian yang cenderung di luar
bahkan berseberangan dengan kepribadian yang dituntut dalam perkuliahan. Mereka
memiliki kepribadian yang masih bersifat membela diri dan merasa benar sendiri,
sehingga tidak mampu memandang situasi dari sisi orang lain (dalam hal ini
adalah dosen).
A.
JENIS-JENIS
PRADIKMA PERGURUAN TINGGI
1.Pradikma
Behavioristik
Dalam paradigma behavioristik, hakikat belajar
dipahami sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respons.
Paradigma yang dipelopori oleh Ivan Pavlov, JB. Watson, Burrhus Frederic
Skinner, dan Edward Lee Thorndike ini muncul pada tahun1930 dan berpengaruh
dalam dunia pendidikan di barat sampai tahun 1960-1970-an serta di Indonesia
sampai tahun 1990-an.
Paradigma ini berimplikasi pada berbagai
faktor pembelajaran. Guru, menurut paradigma ini, harus bisa melatih skill
siswa dengan tugas-tugas yang benar, jelas dan cepat. Berkaitan dengan
kurikulum, siswa harus diperkenalkan mulai dari skill yang paling dasar, baru
kemudian dilatih dengan skill dan kompetensi yang lebih rumit dan kompleks.
Pembelajaran dimulai dari yang sederhana baru kemudian ke yang lebih sulit.
Pembelajaran berlangsung dalam proses
stimulus dan respon.
Untuk
menerapkan paradigma behavioristik, guru harus merumuskan tujuan pembelajaran
tertentu kemudian menyusun tahapan-tahapan pembelajaran tersebut secara
hierarkhis agar tercapai tujuan. Sementara itu siswa ditempatkan pada situasi
yang kondusif untuk mencapai pembentukan perilaku tertentu. Kemajuan
pembelajaran siswa diukur melalui tes dengan berbagai item yang ditentukan
berdasarkan level atau tingkat skill siswa.
Hasil belajar dilihat dari sudut benar atau
tidak benar. Bagi siswa yang hasilnya kurang diberi kesempatan untuk mengulang
lebih intensif lagi. Lingkungan, situasi dan operant merupakan alat untuk
melakukan reinforcement. Alat itu bisa berupa materi, mainan, perlombaan,
kegiatan yang menyenangkan dan dorongan yang bersifat eksternal lainnya. Guru
harus pandai memilih alat yang tepat sebagai operantif atau pendorong. Menurut
paradigma ini, pendorong yang baik (positive reinforcement) akan menghasilkan
respon yang baik atau efektif.
2.Paradigma
Konstruktifistik
di dalam konsep psikologi pendidikan
disebutkan bahwa guru tidak seharusnya begitu saja memberikan pengetahuan
kepada siswa, tetapi siswa yang harus aktif membangun pengetahuan dalam
pikiran mereka sendiri. Paradigma
konstruktifistik memiliki premis dasar bahwa individu harus secara aktif
“membangun” pengetahuan dan ketrampilannya, dan informasi yang ada diperoleh
dalam proses membangun kerangka oleh siswa di luar lingkungan dirinya.
Menurut
paradigma ini, belajar adalah membangun pengetahuan sedikit demi sedikit.
Pengetahuan bukan merupakan seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah
yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan
dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dalam proses pembelajaran, siswa
perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya.Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka
sendiri,karena guru tidak mungkin dapat memberikan semua pengetahuannya kepada
siswa. Karena itu siswa harus terlibat aktif dan menjadi pusat dalam proses
pembelajaran.
3 .Paradigma Sosial Kognitif
Setelah melihat kelemahan yang ada pada kedua
paradigma sebelumnya (behaviorisme dan konstruktivisme), di samping
kelebihannya masing-masing, muncullah paradigma yang ketiga yang dikenal dengan
paradigma sosial kognitif. Menurut paradigma ini, paradigma behavioristik
cenderung menyebabkan siswa pasif dan selalu menunggu apa yang diberikan guru.
Sebaliknya, paradigma konstruktivistik cenderung sangat instrinsik dan terlalu
melihat konstruksi pemahaman dan pemaknaan ke dalam diri siswa.
Paradigma yang dikembangkan ini memiliki asumsi dasar bahwa individu
selalu berdialog dengan lingkungannya. Individu bukan sekedar aktor yang
mereproduksi apa yang diperoleh dari struktur yang melingkupinya. Individu juga
mengembangkan struktur dan memproduksi dunianya. Paradigma pendidikan dan
pembelajaran yang mendasarkan pada individu yang selalu berdialog dengan
lingkungannya ini selanjutnya menggunakan
teori sosial.
.
C.
PARADIGMA DALAM PENDIDIKAN: PARADIGMA PENGAJARAN DAN PEMBELAJARAN
Sebagai implikasi dari globalisasi dan
reformasi tersebut, terjadi perubahan pada paradigma pendidikan. Perubahan
tersebut menyangkut empat hal (BSNP, 2010). Pertama, paradigma proses
pendidikan yang berorientasi pada pengajaran dimana guru lebih menjadi pusat
informasi, bergeser pada proses pendidikan yang berorientasi pada pembelajaran
dimana peserta didik menjadi sumber (student center). Dengan banyaknya sumber
belajar alternatif yang bisa menggantikan fungsi dan peran guru, peran guru
berubah menjadi fasilitator. Kedua, paradigma proses pendidikan tradisional
yang berorientasi pada pendekatan klasikal dan format di dalam kelas, bergeser
ke model pembelajaran yang lebih fleksibel, seperti pendidikan dengan sistem
jarak jauh. Ketiga, mutu pendidikan menjadi prioritas (berarti kualitas menjadi
internasional). Keempat, semakin populernya pendidikan seumur hidup dan makin
mencairnya batas antara pendidikan di sekolah dan di luar sekolah. Mengacu pada
paradigma pengajaran dan pembelajaran sebagaimana tersebut di atas, paradigma
pengajaran lebih memfokuskan pada peningkatan kuantitas informasi, sedangkan
paradigma pembelajaran fokus pada efisiensi dan efektifitas proses pembelajaran
mengenai apa yang diketahui oleh peserta didik dan apa yang mampu mereka
lakukan terhadap informasi baru .Pergeseran ini menuntut para pengajar untuk
belajar dan menemukan kembali sebagai sumber daya serta lingkungan pembelajaran
yang terbarukan yang diharapkan dan dibutuhkan oleh dunia kampus beserta para
mahasiswanya. Tuntutan ini mengarahkan para pengajar untuk mengintegrasikan
diri dengan komunitas akademis dan mahasiswa sebagai sumber pembelajaran
1.TANTANGAN
PEMBELAJARAN
Perkembangan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) telah meningkatkan level kompetensi
untuk mencapai kesuksesan di era ekonomi berbasis pengetahuan seperti saat ini.
Perubahan yang global dengan liberalisasi pendidikan telah menuntut lembaga
pendidikan untuk mampu menghasilkan kualitas peserta didik yang dapat bersaing
secara kompetitif agar dapat diterima di pasar. Tuntutan untuk memenuhi
kebutuhan pasar ini pada akhirnya akan mendorong lembaga pendidikan kita
menjadi lebih bercirikan knowledge based
economy institution. Punie, Zinnbauer and Cabrera (2006) mengatakan, “There is
evidence that educational achievements are positively influenced by ICT”. Dan,
terdapat bukti bahwa prestasi pendidikan dipengaruhi secara positif oleh ICT
(TIK). Namun, temuan tersebut menyatakan bukan hanya TIK yang ada di sekolah
tetapi termasuk juga TIK yang didapatkan para peserta didik yang ada di luar
sekolah
Implikasi
dari era ekonomi berbasis pengetahuan adalah adanya kecenderungan peningkatan
layanan untuk produk-produk jasa dan informasi, industri inovatif, pekerja yang
terdidik yang memiliki kemampuan untuk menanggapi permasalahan kompleks secara
fleksibel, berkomunikasi secara efektif, kemampuan mengelola informasi, mampu
bekerja dalam tim, menghasilkan pengetahuan yang baru serta menuntun terhadap
penguasaan kompetensi yang berketerampilan tinggi (advanced skills). Implikasi
ini membutuhkan kebijakan kreatif dalam penyelenggaran pendidikan dan
pengembangan proses pembelajarannya sebagai agar menghasilkan capaian
pembelajaran sebagaimana yang diharapkan.
2.PERGESERAN PARADIGMA
PEMBELAJARAN
Dalam BSNP (2010), terdapat
beberapa hal yang mencirikan adanya pergeseran paradigma pembelajaran, antara
lain pandangan pembelajaran dari berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa,
darisatu arah menuju interaktif, dari isolasi menuju lingkungan jejaring dari pasif menuju aktif menyelidiki dari
abstrak menuju konteks dunia nyata. dari pribadi menuju pembelajaran berbasis
tim, dari luar menuju perilaku khas memberdayakan kaidah keterikatan, dari
stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi ke segala penjuru, dari monomedia
menuju multimedia, dari hubungan satu arah bergeser menuju kooperatif, dari
produksi massa menuju kebutuhan pelanggan, dari usaha sadar tunggal menuju
jamak, dari satu ilmu pengetahuan bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak,
dari kontrol terpusat menuju otonomi dan kepercayaan, dari pemikiran faktual
menuju kritis, serta dari penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan
D.PEMBELAJARAN
YANG BERPUSAT PADA PESERTA DIDIK
Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik
merupakan suatu cara pandang dalam upaya meningkatkan fokus tujuan
penyelenggaraan kegiatan pengajaran dan pembelajaran. Terdapat dua istilah yang
berbeda digunakan untuk menyampaikan pandangan dalam pembelajaran yang berpusat
pada peserta didik
memiliki tujuan yang sama, yaitu Student Centered Teaching dan Student
Centered learning. Kecenderungan
perbedaan penggunaan istilah untuk paradigma ini adalah studen Centered Teaching
tergambarkan pada pendidikan sekolah menengah dan dasar, sedang Student Centered Learning dilakukan di pendidikan tinggi.
Student Centered
Teaching
merupakan suatu perubahan paradigma model pengajaran tradisional melalui
peningkatan fokus pada pseserta didik dari pada para guru dan pembelajaran dari
pada pengajaran. Dan, dengan paradigma tersebut kelas akan menjadi lebih
egaliter, para peserta didik lebih menekankan pada pemikiran kritis,
pembelajaran aktif, serta tugas-tugas lebih mengacu pada realitas kehidupan. Student Centered Teaching menuntut
hubungan antara pengetahuan dengan peserta didik harus pada saat yang
bersamaan. Weimer (2002) menyebutkan perubahan-perubahan yang terjadi ketika
pembelajaran berpusat pada peserta didik.Secara umum SCL berlandaskan pada
aliran konstruktivisme sebagai suatu teori pembelajaran yang dibangun dengan
ide bahwa pembelajar (peserta didik/mahasiswa) harus mengkonstruksi dan
mengkonstruksi kembali pengetahuan agar dapat belajar secara efektif, dengan
pembelajaran yang lebih efektif pada saat mahasiswa sebagai bagian dari
kegiatan pembelajaran melalui pengalamannya dapat mengkonstruksi suatu produk
yang sangat bermakna. SCL juga dianggap sama dengan pembelajaran transformatif
yang. Dalam berbagai sumber, terdapat beberapa elemen dalam konsep SCL, antara
lain ketergantungan pada pembelajaran aktif dibandingkan dengan pembelajaran
pasif, menekankan pada pembelajaran yang mendalam dan pemahaman,
responsibilitas dan akuntabilitas mahasiswa harus lebih ditingkatkan,
ditingkatkan pula sense of autonomy pada
mahasiswa, adanya saling ketergantungan antara dosen dan mahasiswa, saling
menghormati dalam hubungan dosen dengan mahasiswa, serta pendekatan reflektif
bagi proses pengajaran dan pembelajaran, baik bagi dosen maupun mahasiswa.
1.Pembelajaran
Aktif
Secara operasional, pembelajaran aktif (active learning) dapat didefinisikan
sebagai berikut: ìSuatu aktivitas instruksional yang melibatkan para mahasiswa
di dalam mengerjakan berbagai hal dan berpikir tentang apa yang sedang mereka
kerjakanî. Pembelajaran aktif berlangsung ketika para mahasiswa diberi
kesempatan untuk lebih berinteraksi dengan teman sesama mahasiswa maupun dengan
dosen perihal pokok bahasan yang sedang dihadapinya, mengembangkan pengetahuan
dan bukan sekedar menerima informasi dari dosen. Di dalam suasana pembelajaran
aktif maka dosen bertindak sebagai faslitator, bukan mendikte para mahasiswa.
Pada hakekatnya pembelajaran aktif (mentally
not physically) memerlukan upaya intelektual, analisis, sintesis dan
evaluasi, serta meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam hal asimilasi dan
aplikasi pengetahuan. Sasaran pembelajaran aktif adalah pengembangan
keterampilan berpikir, bukan pemindahan informasi.
2.Pembelajaran Interaktif
Interaksi dapat terjadi dalam berbagai bentuk
yang berbeda, antara lain antara mahasiswa dengan materi pembelajaran, antara
mahasiswa dengan aktivitas pembelajaran, antara mahasiswa dengan dosen/
fasilitator, dan antar mahasiswa. Di dalam pembelajaran interaktif maka setiap
mahasiswa harus mengerjakan sesuatu, sesuai dengan pengetahuan atau materi yang
sedang dipelajarinya. Interaksi dengan content berarti terjadi proses aktif dan
mengkombinasikan content tadi dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah
dimilikinya .
Memperhatikan pemahaman dasar tentang
interaksi maka pembelajaran merupakan suatu aktivitas sosial. Hal ini
mengembangkan pengertian bahwa pembelajaran bukan sekedar interaksi tatap muka.
Interaksi sosial terjadi di antara kelompok orang dengan menggunakan berbagai
media atau alat, misalnya telepon, faksimili, surat elektronik, surat pos dan
media lainnya yang menggunakan teknologi canggih. Interaksi sosial dapat
bersifat bebas dari batas waktu dan tempat.
3.
Pembelajaran Mandiri
Pembelajaran mandiri (self-directed learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang berpusat
pada mahasiswa (student-centred approach)
di mana proses dan pengalaman belajar diatur dan dikontrol oleh mahasiswa
sendiri.
Para
mahasiswa memutuskan sendiri bagaimana, dan kapan belajar tentang suatu hal
yang mereka anggap merupakan hal yang mahasiswa
berlatih untuk mengidentifikasi berbagai masalah yang perlu dipelajari lebih
jauh (investigation), tahu di mana
harus mencari sumber-sumber belajar yang berkaitan dengan masalah tadi, mampu
menentukan prioritas dan merancang penelusuran sumber belajar, mampu
mempelajari materi yang ada di dalam sumber belajar tadi, dan kemudian
menghubungkan informasi yang telah terkumpul dengan pokok bahasan yang sedang
dipelajarinya. Ditinjau dari aspek operasional pembelajaran mandiri diartikan
sebagai kemampuan seseorang dalam hal metode dan disiplin, logika dan
analitika, kolaboratif dan interdependen, sifat ingin tahu dan terbuka,
kreatif, termotivasi, persisten dan bertanggung jawab, percaya diri dan mampu
untuk belajar, serta reflektif dan sadar diri. Untuk dapat memiliki sifatsifat
yang kompleks tadi, mahasiswa harus memperoleh kesempatan guna mengembangkan
dan mempraktikkan keterampilan dan kecakapannya yang mengarah pada peningkatan
pembelajaran mandiri. Keterampilan dan kecakapan tadi meliputi kemampuan mengajukan
pertanyaan, mampu untuk menilai secara kritis setiap informasi baru,
mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan dan keterampilan diri sendiri, dan
kemampuan untuk merefleksikan secara kritis.
4.Pembelajaran
Kooperatif
Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan kelanjutan dari pembelajaran
kolaboratif.
Di dalam pembelajaran kooperatif kelompok
mahasiswa akan memperoleh pengetahuan baru yang bermakna dengan mutu yang lebih
baik, bersifat kontekstual dan relevan bila dibandingkan dengan pembelajaran
individual atau independen. Sementara itu pada saat yang sama, setiap anggota
kelompok di dalam pembelajaran kooperatif menunjukkan sikap positif, teguh pada
pendiriannya tetapi tetap dalam kerangka kerjasama dan saling menghargai. tahu
para mahasiswa dan menjadikan pembelajaran suatu aktivitas bermakna.
Penilaian
(ujian) di dalam pembelajaran secara kontekstual tidak harus dilakukan secara
tertulis. Pendidik boleh menggunakan penilaian secara lisan dan observasi.
Contoh aktivitas adalah quiz di dalam kelompok, diskusi kelompok dan penyediaan
portofolio. Perubahan sikap dan perilaku yang dapat diobservasi juga boleh
digunakan sebagai petunjuk bahwa mahasiswa telah menghayati isi pelajaran.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sebagai upaya pemberdayaan sumber daya manusia
dan peningkatan produktifitas yang dilakukan, khususnya pendidikan tinggi,
dibutuhkan cara pandang baru untuk melakukan perubahan kegiatan pembelarajan
untuk dapat mencapai tujuan pendidikan secara efektif. Pendiidkan tinggi harus
mampu menyediakan dan menghasilkan pembelajaranpembelajaran yang baru dan lebih
produktif serta berdaya saing. Dalam implementasinya, pembelajaran pada
pendidikan tinggi dapat menggunakan berbagai teori-teori pembelajaran yang
mendukun, antara lain Stimulus-Response
Theory, Cognitive Theory, Motivation and Personality Theory, dan Constructive
Theory. Prinsip-prinsip dari teori tersebut dapat memberikan panduan
pelaksanaan pembelajaran, dimana orang dewasa sebagai objeknya. Melalui
teori-teori tersebut juga pembelajaran yang efektif dan efisien dapat dicapai
dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan. Persaingan dalam globalisasi
memunculkan suatu era baru yaitu era ekonomi berbasis pengetahuan yang
mensyaratkan kreativitas, inovasi, kompetensi dan daya saing. Hal ini menjadi
tantangan bagi dunia pendidikan dalam mengahsilkan lulusannya. Keterbukaan dan
kecepatan akses informasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
lingkungan pendidikan. Semua tantangan tersebut harus terintegrasi pada satu
sosok manusia modern yang dapat dihasilkan oleh perguruan tinggi sebagai
lembaga pendidikan formal pada level akhir. Tantangan ini perlu disikapi dengan
langkah awal melakukan perubahan paradigma dalam pembelajaran. Perubahan
paradigma pembelajaran terjadi dari paradigma berfokus pada guru/dosen menjadi
pembelajaran berfokus pada peserta didik atau mahasiswa. Pada pendidikan tinggi
dikenal Student-Centered Learning.
DAFTAR PUSTAKA
Altbach,
Philip G. 2001. Academic freedom: International realities and challenges.
Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands. Center for
International Higher Education, Campion Hall, Boston College, Chestnut Hill, MA
02467, U.S.A. (E-mail: altbach@bc.edu)).
__________. 2010. Global Competence Is a 21st
Century Imperative. NEA Education Policy and Practice Department. Center for
Great Public Schools 1201 16th St., NW, Washington, D.C. 20036. www.nea.org/assets/docs/HE/PB28A_Global_Competence1
1.pdf Mansilla, Veronica Boix & Jackson, Anthony. 2011. Educating for
Global Competence: Preparing Our Youth to Engage The World. Council of Chief
State School Officers’ EdSteps Initiative & Asia Society Partnership for
Global Learning. Asia Society 725 Park Avenue New York, NY 10021 voice:
212-288-6400 · fax: 212-517-8315 www.asiasociety.org/education
__________. 2013.
High Level Group on the Modernisation of Higher Education. Report to the
European Commission on Improving the quality of teaching and learning in
Europe’s higher education institutions.
ec.europa.eu/education/library/reports/modernisation_en.pd f Punie, Yves.,
Zinnbauer, Dieter., and Cabrera, Marcelino. (2006). A Review of the Impact of
ICT on Learning. Working Paper prepared for DG EAC, October 2006. JRC Technical
Notes. JRC European Commission and Institute for Prospective Technological
Studies (IPTS). Peters, Judi., Cornu, Rosie Le., Collins, Janet. (2003).
Towards Constructivist Teaching and Learning: A Report on Research Conducted in
Conjunction with the Learning to Learn Project, November 2003.
www.learningtolearn.sa.edu.au/tfel/files/.../learning_to_lear n_report.doc
__________.
2008. 21st century skills, education and competitiveness. A Resource and Policy
Guide. Partnership for 21st Skills. www.21stcenturyskills.org Pope, Rob. 2005.
Creativity – Theory, History, Practice. by Routledge. 2 Park Square, Milton
Park, Abingdon, Oxon, OX14 4RN Andy Hargreaves, Ann Lieberman, Michael Fullan,
David Hopkins. 2010. Second International Handbook of Educational Change, Part
I. Springer International Handbooks of Education. Volume 32. ISBN
978-90-481-2659-
Komentar
Posting Komentar